Oleh : Akang Zuqi
Siang itu, kala sang mentari sedang menyaksikan sebuah
kehidupan. Di pemakaman umum, berjongkok lah seorang pria berbaju putih,
bercelana hitam di depan sebuah makam. Pria itu terdiam tanpa suara, mata terpejam,
telapak tangan kanan menyentuh tanah makam tersebut. Tangan kiri menggenggam
siku tangan kanan. Tak berapa lama, ada seseorang yang memanggil, dan
membuatnya tersadar dari lamunannya.
..... : mas Dika...
Dika : (menengok ke arah suara berasal) eh... mas Agus...
(sambil mengusap air mata)
Agus : sudah lah mas, yang sabar, dia sudah tenang di
alam sana, jangan buat dia tersiksa karena air mata mas Dika yang terus
mengalir untuknya.
Dika : (tersenyum) engga' kok mas, saya tidak bersedih
untuknya.
Agus : lantas? Kenapa meneteskan air mata? (Dengan
sedikit keheranan).
Dika : ini bukan air mata kesedihan mas Agus, tapi air
mata kebahagiaan, karena dia mendapat kemuliaan dari Allah saat meninggal, saya
berharap bisa seperti dia (dengan senyum yang mulai memudar).
Agus : iya, dia adalah orang yang beruntung. Iya sudah
mari kita pulang.
***
Ruas ruas jalanan yang berkelok kelok, bagai ular
raksasa yang bermotif aspal. Kendaraan berlalu lalang tanpa ada yang
menghentikan. Tak terasa itu terus berlanjut hingga malam mengingatkan untuk berhenti
sejenak. Menjadi sepi, seperti dunia telah terbalik.
Waktu menunjukan pukul 10 malam. Di suatu rumah
bergaya serba putih, dengan keramik marmer putih menjadi dasar lantainya. Luas dan terasa sejuk. Ruang tamu pun terlihat serba putih, sofa putih dengan motif
bunga putih. Meja putih yang bertaplakkan putih polos. Dinding putih berhiaskan
kaligrafi yang terukir permanen. Dengan garis hijau yang membentuk huruf-hurufnya
yang berwarna putih. Indah memanjakan mata, menyejukan rasa. Duduk lah dua orang
di sana.
Dika : mba Nila belum sembuh mas?
Agus : belum mas Dika, sudah setengah tahun ini. Padahal sudah berobat ke berbagai rumah sakit, tapi masih belum sembuh
Dika : yang sabar mas Agus. Mungkin Allah sedang
menguji kesabaran mas Agus dan mba Nila.
Agus : (tersenyum) insya Allah, semoga semua ini
menjadi berkah.
Dika : insya Allah, Aamiin... iya sudah mas, saya mau
pulang dulu.
Agus : iya, hati-hati di jalan (bersalaman dan
mengantar sampai di depan rumah).
Dika : Assalamu’alaikum...
Agus : wa’alaikumussalam...
Berlalulah Dika dengan sepeda motornya. Menyusuri
sepinya jalanan, diselimuti hening malam. Kerlip bintang bintang di langit
perlahan hilang, tertutup awan mendung menghalang. Dua puluh menit di atas sepeda motor
yang melaju, sampailah Dika di depan rumahnya. Sederhana, teramat sederhana. Dulunya,
hanya sebuah gudang kecil tempat penyimpanan kayu milik seorang pengusaha.
Sampai pengusaha tersebut pindah ke luar kota, dan gudang tersebut menjadi tak
terpakai dan tak terawat untuk waktu yang lumayan lama. Hingga akhirnya pemegang
kunci gudang tersebut menyerahkan kepada Dika untuk menjadi tempat tinggal
dengan syarat tetap dirawat. Gudang kecil dengan dua tiang penyangga di
dalamnya. Menjadi batas ruang yang bersekatkan triplek tipis. Ruang tamu yang
diapit kamar dan ruang untuk sholat yang ditempatkan berpapasan dengan pintu belakang
menuju sumur yang dikelilingi tembok asbes dan beratapkan asbes. Semua ruangan
serba lesehan dengan tikar. Hanya ruang tamu yang beralaskan karpet hijau.
Dimasukkan sepeda motornya ke ruang tamu yang tikar
sudah digulung. Sepeda motor antik, pitung,
seperti itu lah Dika memanggil sepeda motor mungilnya yang bercat hijau daun.
Tak lupa ia kunci pintu rumahnya. Masuk lah Dika ke kamar, ia rebahkah tubuhnya
di atas tikar tipis hijau polos. Dipejamkan ke dua matanya. Beberapa kalimat
do’a ia lantunkan dengan gerak bibir tanpa suara.
Sepi malam mengundang sunyi pagi. Perjalanan waktu
yang begitu indah. Romansa – romansa selimuti dinginnya hari. Bulan dan bintang
beristirahat dari jaga malamnya. Berganti mentari bersinar terangi perjalanan
hari.
Pukul delapan pagi. Tak seperti hari – hari biasanya. Dari
selesai solat subuh, Dika merasa ada yang mengganjal di benaknya. Entah apa
itu. Sesaat kemudian, suara khas dari benda kecil mungil berbunyi diiringi
getaran yang kuat. Diambilnya benda kecil mungil itu. Rupanya ada pesan masuk. Dia
membuka dan membaca pesan tersebut. Setelah membaca, dengan cepat dia mengambil
kunci motornya. Dia keluarkan motornya, menutup pintu rumah, tak lupa dikunci.
Berlalulah Dika dengan motornya. Berpetualang dijalanan yang ramai. Sekiatar tiga puluh menitan, sampailah Dika di sebuah rumah sakit besar. Masuk lah ia dan menuju
ruangan yang bertuliskan IGD. Di depan ruang tersebut, berdirilah seseorang
yang terlihat begitu panik.
Dika : assalmu’alaikum mas Agus...
Agus : wa’alaikumussalam...
Berselang beberapa detik, seseorang berbaju putih keluar
dari ruang tersebut dengan stetoskop di lehernya.
Agus : dokter... bagaimana keadaan adik saya?
Dokter : masih belum sadarkan diri, insya Allah adik
anda baik-baik saja. Untuk sementara, lebih baik dirawat inap dulu. Saya
permisi.
Agus : terimakasih dok, silahkan.
Dika : yang sabar mas, pasti ada hikmah dibalik semua
ini.
Agus : terimakasih mas Dika, sebenarnya saya sedikit
aneh dengan sakitnya Nila.
Dika : aneh kenapa mas Agus?
Agus : awal ceritanya begini, kira-kira setengah tahun
sebelum mas Fajar meninggal...
***
1,5 tahun yang lalu
Minggu siang, sang mentari pun belum jauh bercerita.
Waktu manunjukan pukul sepuluh, di rumah Agus dan Nila, di ruang tamu.
Ha ha ha ha ha...
Suara tawa candaan bergema di ruang tamu.
Agus : oh iya, Nila... ada yang mau mas katakan padamu
Nila : apa itu mas??? (Dengan keheranan).
Agus : beberapa hari yang lalu, teman mas yang pernah
ketemu sama kita pas di toko baju pusat kota sekitar dua minggu lalu, kamu masih
ingat orangnya?
Nila : mmmmm... (dengan raut wajah yang terlihat
mencoba mengingat sesuatu) oh, yang itu, iya rada samar, memang kenapa mas?
Agus : dia tanya sama mas, apakah kamu sudah ada yang
punya apa belum gitu
Nila : memangnya ada apa sih mas?
Agus :dia berminat sama kamu, kalau kamu juga
berminat, insya Allah minggu depan dia mau kemari, mau ngobrol samma kamu dulu,
setelah itu baru lah dia akan datang bersama orang tuanya untuk melamarmu.
Nila : (hanya terdiam seribu bahasa, dengan wajah merunduk,
dan mata yang mulai sembab) sebelumnya, Nila minta maaf mas, bukannya Nila mau
menolak niat baik teman mas Agus.
Agus : jangan begitu, mas kan hanya menanyakan kepada
kamu, mas tidak ada niatan memaksa, kata kan saja sama mas.
Nila : (dengan isakan tangis...) mohon maaf beribu
maaf, akan tetapi Nila sudah punya pilihan Nila sendiri mas.
Agus : kalau mas boleh tau, siapa itu Nila?
Nila : dia bukanlah seseorang yang bergelimang harta,
namun dia kaya akan keimanan. Dia juga tidak punya apa pun untuk dibanggakan,
tapi dia begitu dekat dengan Rasulullah dan disayang beliau, meski tidak
sezaman dengan beliau. Dia adalah kamu... (dengan wajah menunduk dan tangan
menjulur menunjuk seperti mengajak bersalaman kepada seseorang yang duduk
bersebrangan dengan kakangnya).
Preman 2 : (tersentak rasa kaget, beribu kebingungan mengujam
dirinya. Yang pada dasarnya juga hatinya menyukai Nila, namun tidak pernah
berani mengungkap karena merasa dirinya hina dan tak pantas untuk Nila).
Nila : dia... mas Fajar
Agus : subhanallah, Nila, mas tidak akan marah sama
Nila. Siapa pun pilihan Nila, asal kan itu orang yang baik, mas dukung. Dan mas
Fajar ini memang orang yang baik, mas pasti mendukung, bagaimana mas Fajar?
Preman 2 : (masih tetap tertunduk dalam diamnya,
banyak rasa yang berkecamuk dalam benaknya. Entah harus berkata apa, jujur
dengan perasaannya atau meminta maaf untuk ketidak pantasannya dengan Nila). "Sebelumnya saya minta maaf, saya tidak menyangka mbak Nila akan berkata seperti
demikian, pada hal masih banyak laki-laki di luar sana yang lebih baik dari
saya untuk mendampingi Nila, bukan saya menolak, tapi mohon mbak Nila
pertimbangkan kembali".
Nila : (dengan deraian air matanya yang perlahan menyusuri
pipi wajah manisnya) "Nila akan tetap pada pilihan Nila mas", (berdiri dan
berjalan pergi meninggalan ruang tamu)
Preman 2: (beberapa beberapa menit setelah Nila
meninggalkan ruangan, dirinya masih tertunduk diam, dan hingga ahirnya...) mas Agus...
saya mohon maaf... saya mohon permisi dulu karena masih ada keperluan
Agus : oh iya mas, silahkan...
***
Agus : setelah saat itu, semua tetap berjalan seperti
biasa, seperti tak pernah terjadi apa pun. Dan saya juga tau, bahwa mas Fajar
juga suka kepada adik saya. Karena setelah kejadian itu, saya datang sendiri
kepada mas Fajar bagaimana perasaan dia sama adik saya.
Dika : (hanya terdiam mendengarkan cerita, dan
pikirannya membayang menembus masa lalu) “aku jadi merindukanmu kawan, saat
kita masih bisa tertawa bersama dan berbagi, namun aku menyesal, karena dulu
aku tidak menyadari dan tidak mengikutimu belajar agama. Padahal kita sering
bersama. Itu karena aku tidak menyadari tingkahmu, yang kamu tak pernah lagi
mengganggu ketenangan pasar, meski kau tetap menjelma sebagai preman pasar
bersamaku”
Agus : dan beberapa waktu setelah mas Fajar meninggal,
saya menceritakan perasaan sebenarnya mas Fajar kepada Nila. Dan beberapa waktu
kemudian, Nila menjadi sering sakit-sakitan. Mungkin karena beban pikiran dan
perasaannya yang sangat besar kepada mas Fajar. (Mulai menitikan air mata)
Dika : yang sabar mas, mungkin ini memang sudah
kehendak Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa berusaha, bukan menerka. Dan pasti
ada hikmah yang besar di balik ini semua
Beberapa minggu terlewati. Jum’at, menunjukan pukul tiga pagi. Dering HP mungil Dika berbunyi dan membangunkannya. Dia kemudian duduk
dan mengangkat telepon itu. Kemudian dengan terkejut, dia terdiam seribu bahasa
dengan raut wajah kesedihan dan tertunduk. Kemudian, dia matikan telfon itu dan
diletakannya disampingnya.
1 bulan kemudian.
Kamis, kala mentari belum jauh menyusuri hari, waktu
menunjukan pukul 9.30 WIB. Di ruang tamu gubuk kecil Dika,
Agus : mas Dika, kedatangan saya ke sini, saya mau
pamit keluar pulau, saya mau pulang mas Dika.
Dika : kok tiba-tiba sekali mas, kapan berangkat?
Agus : iya, soalnya, saya disuruh ayah saya untuk
menggantikan beliau memegang kendali usaha beliau. Meneruskan perjuangan beliau.
Dan insya Allah besok sore berangkat.
Dika : iya sudah mas, yang penting mas hati-hati di
jalan.
Agus : insya Allah mas, dan ini kunci rumah saya. Saya
berikan kepada mas Dika.
Dika : lha kok? Memangnya mas Agus tidak akan kembali
ke sini? Terus itu usaha mas Agus bagaimana? Kalau toko perhiasan itu ditutup,
kasihan mas yang bekerja di sana.
Agus : (dengan tersenyum) "justru itu, mas Dika
tinggallah di rumah saya itu. Dan toko perhiasan itu, tolong mas Dika lanjutkan
sebagai usaha mas, saya yakin mas Dika bisa menjalankannya. Jika mas Dika bingung,
di sana ana manager yang siap menjelaskan semua yang mas Dika perlu dan ingin
tau. Dan saya juga tau kalau mas Dika sedang dekat dengan seorang perempuan
yang berjualan di pasar tempat mas Dika jadi preman dulu. Lamar dia mas,
nikahi, dan ajaklah tinggal di rumah saya itu. Saya berikan rumah itu kepada
mas Dika. Saya juga pasti kembali ke sini, untuk singgah dan ziarah.
Dika : masya Allah, betapa baik hati mas Agus. Banyak
membantu saya. Semoga Allah membalas semua kebaikan mas Agus. Terus, kalau mas
Agus berangkat besok, kenapa kuncinya diberikan sekarang?
Agus : soalnya setelah ini saya ada urusan di luar
kota. Jadi sekalian saja. (Tersenyum) ya sudah, saya pamit dulu mas Dika.
Assalamu’alaikum...
Dika : ya sudah, hati-hati dijalan mas,
wa’alaikumussalam...
Satu tahun yang berliku-liku berlalu seperti air sungai yang
mengalir tenang perlahan. Terus mengalir menuju muara.
Di sebuah ruangan kecil berwarna putih bersih tanpa
hiasan apa pun, kecuali beberapa Al-Qur’an yang tertata rapi diatas meja kecil
di pojok kiri depan ruangan. Setelah selesai sholat magrib, Asih menyalami
tangan suaminya serta mencium tangan suaminya. Dan suaminya mencium ubun-ubun
Asih yang tertutup mukena putih. Kemudian saling berhadapanlah mereka.
Asih : Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, karena
dianugerahi suami yang begitu baik dan sayang kepasa istrinya. Dan lagi orang
itu adalah orang yang aku cintai. (Dengan senyuman merona diwajah yang terlihat
manis dengan lesung pipinya). Terimakasih mas Dika, karena kamu telah memberi
yang terbaik untukku, istrimu.
Dika : (dengan wajah tersenyum) aku pun sangat bersyukur
karena aku bisa menjadikanmu istriku. Dan semoga Allah kan terus meridhoi kita.
Aamiin.
Asih : Aamiin ya robbal ‘alamin
Dika : dan satu hal lagi Aisyah. Ketahuilah, aku
sebenarnya tidak punya apa pun. Semua yang ku miliki, dan semua yang ku berikan
kepadamu, itu semua hanya titipan semata dari Yang Maha Kuasa. Jangan lah kita
menjadi sombong dan bangga karena apa yang kita miliki sekarang. Karena
kehendak-Nya-lah yang berlaku. Jika Dia ingin mengambil semua ini, itu adalah
hak mutlak bagi-Nya.
Asih : insya Allah mas, aku akan mengingat itu semua.
Selesai
COMMENTS