Kitab kuning bukanlah rukun dalam
sebuah pesantren. Karena rukun dalam pesantren hanyalah Kiai, Santri dan Masjid
atau sarana untuk berkumpul. Jadi kitab kuning bukanlah sesuatu yang utama. Namun
kitab kuning menjadi sebuah keniscayaan adanya, terutama pada pesantren yang
memang dari awal tujuannya untuk tafaqquh fiddiin. Inilah yang menjadi
tujuan dari pesantren yang menitikberatkan kitab kuning sebagai kurikulum utama
para santrinya.
Pesantren bukanlah semata-mata menjadi lembaga pendidikan. Namun
juga dapat sebagai lembaga sosial, balai pengobatan, perpolitikan dan bahkan
balai perjodohan. Oleh karena itu pendidikan hanyalah salah satu ladang garapan
dalam pesantren. Bahkan pesantren pun ada yang memiliki spesialisasinya
sendiri-sendiri. Ada pesantren preneur, pesantren fiqh, pesantren nahwu dan
lain-lain. Namun, sekali lagi kitab kuning juga tidak dapat dipisahkan dari
pesantren. Pesantren diharapkan sebagai lembaga tafaqquh fiddiin. Inilah
pesantren yang diharapkan dapat mencetak para santri yang bisa membaca kitab
kuning.
Kitab kuning menjadi sumber utama dalam kehidupan pesantren, bahkan
pada kehidupan luar yang lebih luas lagi. Karena semua yang ilmu yang sudah
diketahui harus diamalkan dan semua amal harus dengan ilmu. Dalam metode
pengajaran kitab kuning, pada umumnya yang diterapkan ada dua, yaitu bandongan
dan sorogan. Bandongan merupakan sistem pengajaran kitab kuning yang dibacakan
oleh guru dan murid bersifat pasif mendengarkan saja. Lain halnya dengan sistem
sorogan, sistem ini lebih menekankan pada keaktifan para santri untuk membaca
di hadapan gurunya. Bahkan sampai menerjemahkan dan menjelaskan maksud dari
teks yang telah dibacanya. Kedua sistem ini memiliki kontribusi yang penting
dalam penguasaan kitab kuning.
Dalam prosesnya pun, para santri memiliki tahapan masing-masing
dalam tingkatan penguasaan kitabnya. Dimulai dari kitab-kitab yang kecil dan
ringan hingga kitab-kitab tebal yang memiliki pembahasan lebih dalam lagi.
Selain itu pula para santri diberikan tugas atau PR untuk dikerjakan untuk pengayaan
pengetahuan para santri terhadap kitab kuning. Metode ini diberikan supaya para
santri memiliki keberanian dalam membaca, mengartikan, dan menjelaskan kitab
kuning.
Kembali lagi dalam persoalan revitalisasi. Dalam artian bahwa
bagaimana kitab kuning dapat memiliki peran penting, apalagi bagi pesantren
yang memang konsen dalam tafaqquh fiddiin. Yang itu khusus dalam
pemahaman-pemahaman agama. Inilah asal mula tujuan sebuah pesantren. Mirisnya,
ketika pesantren membuat sebuah lembaga formal, pesantren pun harus memiliki
kurikulum pelajaran umum. Yang tentu hal itu harus menyesuaikan dengan
pemerintah atau kurikulum nasional yang ijazahnya menjadi syarat untuk masuk ke
dalam perguruan tinggi.
Kemudian muncullah metode kombinasi antara kurikulum nasional
dengan kurikulum asli pesantren dengan cara mengurangi pelajaran-pelajaran umum
dan memasukkan kurikulum pesantren di dalam pengajaran sekolah-sekolah formal
saat ini. Dengan memasukkan kitab-kitab kuning ke dalamnya. Solusi inilah yang
dilakukan oleh pesantren agar nilai-nilai keilmuan pesantren dapat selalu ada
dan lestari meskipun memiliki lembaga formal.
Kemudian yang kedua, menjadikan penguasaan kitab kuning sebagai
standar kenaikan kelas atau kelulusan. Seperti halnya madrasah di Krapyak yang
menjadikan beberapa mata pelajaran yang berbasis kitab kuning itu harus diselesaikan.
Pada umumnya pelajaran Nahwu Shorof dan pembacaan ataupun hafalan. Dua hal inilah
yang mampu merevitalisasi kitab kuning. Inilah yang menjadi nilai plus dari
sekolah-sekolah yang berada di dalam naungan pesantren. Dengan ini diharapkan
santri ketika lulus madrasah sudah
dapat membaca kitab kuning.
Selain itu pula, agar kitab kuning dapat lestari dan selalu hidup
di zaman sekarang hingga nanti, para santri dan lembaga pesantren harus bisa
membahasakannya ke dalam bahasa yang popular dan dapat diterima banyak
kalangan. Semisal membahasakan Bab Syirkah dengan istilah Koperasi atau yang
lainnya. Apalagi dengan hadirnya media-media sosial saat ini. Para santri dituntut
pandai-pandai dalam memanfaatkan media. Inilah yang kemudian disebut sebagai digitalisasi
pesantren, yang saat ini juga sedang digalakkan.
Maka dengan cara-cara di atas, kitab kuning menjadi penting sebagai
sumber utama literatur santri. Karena tanpa disadari dan dimungkiri bahwa
anak-anak zaman now yang notabene non-pesantren
menjadikan media sosial mereka sebagai sumber pemahaman keagamaan. Inilah
menjadi tugas para santri untuk memviralkan ajaran pesantren ke luar. Sehingga
kitab kuning dapat mendunia. Karena kitab kuning menjadi sumber utama yang
kebenarannya kita yakini dan terpuji. Maka disebarkan agar menjadi lebih bermanfaat.
Maka supaya kitab kuning menjadi vital juga, ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, para santri perlu dibekali dengan kemampuan dan
keterampilan literasi. Dalam artian dapat membahasakan apa yang ada di dalam
teks dan mengkombinasikannya ke dalam konteks. Yang kedua, santri harus
dibekali dengan kajian-kajian sosial,politik, dan ekonomi sehingga keilmuan
yang sudah dipelajari dalam kitab kuning dapat dibahasakan dan dikontekskan ke
dalam ranah sosial budaya dan politik tadi.
Oleh : KH
Hilmy Muhammad
(disampaikan
dalam acara Sarasehan Haflah PP Al Luqmaniyyah ke 19)
COMMENTS