Oleh : Akang Zuqi
Pagi itu, kala sang mentari baru memulai perjalanan
menelusuri hari. Dari ufuk timur, mengawali kisah tentang malaikat yang
menyaksikan langkah kehidupan makhluk lain.
Kamis, 07.10 WIB.
Di sebuah pasar tepi sungai kecil
berseberang jalan. Terlihat belum terlalu ramai dengan aktifitas para pembeli. Di
jembatan akses keluar masuk pasar, terlihat 2 orang tengah duduk di pembatas jembatan.
Dengan rokok di tangan bertemankan segelas kopi hitam. Preman pasar. Begitulahpara
penjual di pasar menyebutnya. Karena tampang mereka yang dinilai seperti preman
pasar pada umumnya. Kaos hitam lengan pendek yang sudah terlihat sedikit lusuh.
Celana jeans hitam dengan robekan di lutut dan paha, dan sepatu hitam yang
sudah lusuh. Kalung rantai, tato di lengan, dan wajah seperti pemabuk. Dan
kebiasaan mereka yang terkadang meminta jatah kepada para penjual. Dan
terkadang pula menggoda para gadis dan wanita terlihat muda yang hendak
berbelanja.
Tak berapa lama, masuklah sebuah mobil sedan silver
memasuki parkiran lapangan kecil tempat biasa untuk parkir kendaraan. Parkir
lah mobil tersebut, dan keluar lah sesosok gadis muda nan cantik berjilbab rapi
berusia sekitar 20 tahunan dari mobil tersebut. Bersama sesosok pria yang
terlihat gagah dan tinggi.
Preman 1 : Bro, liat tuh, wuidihh... orang kaya, cantik
lagi...
Preman 2 : (hanya tersenyum dengan perlahan menghisap
rokoknya)
Kemudian berjalan lah pria dan gadis tersebut, ketika
sampai di jembatan.
Preman 1 : Neng cantik, mau belanja neng?
Gadis : iya ini bang (sambil senyum)
Preman 1 : Abang kawal mau neng? (Dengan tatapan dan
senyuman yang mencoba menggoda)
Gadis : makasih bang, tidak perlu. Permisi bang
(sambil berlalu dengan diikuti pria yang bersamanya)
Preman 1 : aduh aduh, si eneng. Butuh bantuan panggil
abang ya. Hahahahaha
Melihat tingkah temannya tersebut, preman yang satunya
hanya tersenyum kecil sambil menikmati rokok dan kopinya. Pahit kopi dan manis
gula yang bercampur rasa di lidah, ia rasakan dengan sebuah penglihatannya yang
tak lepas dari gadis dan pria tersebut. Hingga suara temannya menggugah dari
diamnya.
Preman 1 : Hei bro, lu udah makan belom?
Preman 2 : Belom lah, emang lu udah?
Preman 1 : Ya belom lah, makanya gua mau ajak elu
makan
Preman 2 : Halah, sok ngajak lu. Ketemunya gue juga
yang cari tempat. Ya udah, ke tempatnya babeh aja.
Berjalanlah 2 preman tersebut masuk ke dalam pasar.
Menelusuri jalan setapak yang menjadi batas antar blok. Sekitar 10 menit
berjalaNn, sampailah mereka di warung makan. Kemudian masuklah mereka berdua.
Preman 2 : Beeeh, babeh...
Pemilik : Iya iya sebentar, ada perlu apa kemari???
Preman 1 : Lha kok malah nanya, iya biasa lah beh,
jatah, udah keroncongan ini perut
Preman 2 : Biasanya aja beh
Pemilik : Iya iya, saya ambilkan dulu...
Kemudian makanlah 2 preman tersebut. Setelah selesai
makan, keluar lah mereka dari warung makan tersebut. Kembali berjalan menelusuri
jalan setapak menuju jembatan. Mampir lah 2 preman itu ke tempat minuman dekat jembatan
milik seorang ibu muda.
Preman 1 : Jeng, isi ulang kopi item
Ibu muda : Jya sebentar bang, gelasnya mana bang?
Preman 1 : Iya masih di sana jeng (menunjuk jembatan)
Ibu muda : Lha kok gak di bawa sekalian bang (sambil
membuat kopi)
Preman 2 : Tadi abis ngisi perut jeng, masa ngisi
perut bawa gelas segala
Ibu muda : Iya sudah, ini kopinya
Preman 1 : Tak bawa jeng, nanti gelasnya di ambil
sendiri yah, hehehe
Berlalulah 2 preman tersebut, kembali nongkrong di
jembatan. Hari beranjak siang dan terasa panas, rupanya sang mentari telah
sampai setengah perjalanan menelusuri hari. Dengan teriknya, sang mentari tetap
melanjutkan kisahnya tentang malaikat yang menyaksikan sebuah perjalanan hidup.
Preman 2 : Bro, gua balik dulu. Mau ngadem dulu, entar
gua kesini lagi.
Preman 1 : Ya elah elu, di sini aja, nemenin gue. Liat
noh, bentar lagi ada mangsa lewat (sambil menunjuk seorang ibu-ibu yang diikuti
2 orang yang membawakan belanjaannya)
Preman 2 : Alah..., gua cuma bentar. Itu lho urus sendiri
kan bisa. Gua balik lagi kesini entar
Preman 1 : Haduh, iya udah. Kebiasaan lu kalo panas
gini. Balik bilangnya bentar, 2 jam gue nunggu lu balik lagi.
Berlalulah preman tersebut. Berjalan di tepi jalan
yang ramai belalu lalang kendaraan. 30 menit berjalan, samapailah di jalan
kecil seberang yang masuk ke persawahan melewati kebun jagung. 5 menit berjalan
melewati kebun jagung tersebut, samapi lah di sebuah gubuk kecil sederhana
berukuran sekitar 3×4 m, bertembokkan anyaman bambu, beralaskan tanah, dan
beratapkan genteng asbes yang ditutupi dengan anyaman daun kelapa. Masuklah
preman tersebut, dan merebahkan tubuhnya diatas ranjang bambu.
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Terdengarlah sebuah panggilan yang tak terelakan
baginya. Dengan mata terpejam, ia menikmati alunan panghilan indah itu. Sunyi
dan sepi dalam kesendiriannya, namun damai ia rasakan dalam hatinya.
Sementara di jembatan pasar, temannya yang sedari tadi
menunggu ia datang. Sudah sekitar 2 jam lebih ia menanti kadatangannya.
Tak
berapa lama kemudian...
Preman 1 : Ahirnya, dateng juga lu.
Preman 2 : Kenapa? Kesepian lu tanpa gue? Hahaha
Preman 1 : Ya iya lah, temen gue nongkrong di sini kan
cuma elu.
Preman 2 : Nah itu, si bencong ga nemenin elu dari
tadi?
Preman 1 : Idih, jijay gue. Geli ah sama dia (dengan
logat alay) hahahahaha
Preman 2 : Hahahahaha. Sori bro, merem dulu tadi
bentaran. Nih gue bawain rokok lagi (mengeluarkan sebungkus rokok dari saku)
Preman 1 : Wiiihhh... cocok nih. Tumben bungkusan
(mengambil dan meyalakan rokok)
Preman 2 : Jatah dong bro, hahahahaha
Preman 1 : Dapet aja lu hahaha...
Keduanya pun tertawa. Seperti biasanya lagi, duduk
nongkrong sambil merokok dan minum kopi. Menggoda gadis dan berkeliling pasar
meminta jatah. Entah itu berupa makan atau pun uang yang walau pun itu tidak seberapa.
5 ribu samapi 10 ribu. Itu lah sekitaran yang diberikan kepada preman pasar itu
oleh para penjual. Namun tidak semua penjual dimintai jatah.
Sore datang bersamaan dengan sang mentari yang menutup
kisahnya di hari itu. Dengan awan mulai mendung yang hadir ikut
mendengarkannya. Dan awan pun menitihkan air matanya karena ahir kisah dari
sang mentari.
Waktu menunjukan pukul 07.30 WIB. Malam gelap tanpa
warna, menyamarkan warna warni kehidupan. Di iringi tangisan langit yang
bergemerintik. Perlahan membasahi bumi dan tak luput atap sebuah gubuk kecil
pun ikut terbasahi. “Assalamu’alaikum... bang” terdengar suara lembut dari luar
pintu gubuk tersebut. Seorang lelaki yang sedang menikmati sebatang rokok pun
bangkit dari duduknya.
Preman 2 : Wa’alaikumussalam (membukakan pintu, dan
sedikit terkejut dengan apa yang dilihat oleh matanya) ya Allah... neng... mas...
alkham dulillah, mari masuk.
Rupanya mereka adalah gadis dan pria bermobil sedan
silver yang berbelanja di pasar pagi tadi. Dan masuklah mereka ke dalam gubuk
tersebut.
Gadis : Ini bang, saya bawakan sedikit makan buat
abang.
Preman 2 : Aduh neng makasih ya, maaf jadi ngrepotin
eneng.
Pria : tidak apa-apa kok bang, itung-itung sambil
silaturahmi ke sini (sambil tersenyum)
Preman 2 : Iya mas, terimakasih. Sama saya juga
ucapkan terimakasih buat yang tadi pagi, sudah tidak menyapa saya pas di pasar.
Pria : Iya sma-sama bang.
Gadis : Nanti kalo kami menyapa abang, pasti temen
abang langsung ngejauhin abang kan. Karena pasti teman abang iti akan curiga
sama abang. Dan nantinya akan tau kalo abang belajar agama sama kami. (Dengan
senyum manis menghiasi)
Mengobrol lah mereka bertiga di dalam gubuk kecil
tersebut. Hingga tak terasa sudah mulai larut malam. 10.20 WIB, gadis dan pria
itu pamit untuk pulang ke rumah mereka. Dan tinggal si preman pasar tersebut di
dalam gubuk kecilnya. Dia membuka dan muali memakan makanan pemberian itu.
Selesai makan, si preman tersebut ke belakang gubuk.
Berwudhu, itu yang dilakukannya. Kembalilah dia ke dalam gubuknya. Sehabis
sholat sunnah, bersujud lah dirinya dirinya dengan deraian air mata.
Ucapan-ucapan puji syukur kepada Sang Khaliq ia lantunkan tanpa henti.
Jum’at, waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB. Tidak
seperti biasanya. Di dalam gubuk kecil itu, si preman hanya duduk diam merenung
di atas ranjang bambunya. Sesekali dia menghisap perlahan rokok di tangannya,
dan terkadang menyeruput kopinya yang ia letakkan di meja kecil samping ranjang
bambunya. Terkadang pula, air matanya menetes. Sampai tak terasa hampir tengah
hari. Si preman tersebut menuju ke belakang gubuk untuk berwudhu. Kemudian
berpakaianlah rapi, dengan sarung polos warna biru laut dan baju lengan panjang
putih. Peci hitam menutupi rambut di kepalanya. Sebuah sajadah tergelar di atas
ranjangnya. Sholatlah dia 4 raka’at, setelah itu sujudlah dia.
Air matanya mulai mengalir perlahan, dan semakin
deras. Hatinya menjerit dengan kerasnya, meski angin pun tak bisa mendengarnya.
Dia terus bergumam tanpa henti,
“ya Allah
yang Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan Maha Pemaaf. Engkau yang menciptakan
segalanya. Dan bahkan Engkau yang akan mengambil segalanya. Aku adalah hambamu
yang penuh dosa. Aku sangatlah malu terhadap-Mu. Ma’af kan aku yang tidak pergi
untuk beribadah dirumah-Mu. Karena aku sangat malu terhadap-Mu. Malu dengan
keadaanku yang seperti ini, jika harus menginjakan kakiku yang kotor ke
rumah-Mu dan malu menghadap-Mu dengan tubuh penuh dosa ini jika harus di
rumah-Mu. Aku sadar bagaimana diri ini. Aku tau, terlalu sulit untuk ku menjamah
surga-Mu dengan dosa-dosa dari masa lalu ku hingga kini. Aku pun takut akan
murka-Mu di neraka”.
“Ya
Allah yang Maha Sempurna, sang Pemberi nikmat tak terhingga. Maafkan aku yang
tak bisa berbicara dengan bahasa-Mu, karena kebodohan diriku. Aku panjatkan
puji syukur kepada-Mu atas sedikit kesempatan untuk ku bisa memuja-Mu. Ya
Rabbi, tak ada lagi yang ku minta dari-Mu. Selain cinta-Mu. Aku tak pantas
untuk surga-Mu. Dan aku juga takut akan murka-Mu di neraka. Aku hanya bisa
berharap akan cinta-Mu. Semoga cinta-Mu kepadaku seperti Engaku mencintai
kekasih-Mu. Dan aku mencintai-Mu seperti kekasih-Mu mencintaimu”
Dengan suara pelan dalam sesenggukkan tangisannya, si
preman itu berucap lirihnya. Berucap sebuah kalimat yang agung “Laa ilaa ha
illallah, muhammadur rosuulullah”.
Sunyi mengiringi hari. Tak ada nyayian
burung, bahkan angin pun tak berbhembus.
Pukul 13.15 WIB, seorang gadis dan pria turun dari
sebuah mobil sedan silver yang parkirkan di tepi jalan. Mereka berjalan
menyebrangi jalan untuk menuju jalan kecil di seberang jalan. Kemudian
menelusuri jalan itu melewati kebun jagung. Dan menujulah mereka ke gubuk kecil
di balik kebun jagung tersebut. “Assalamu’alaikum... bang” suara lembut sang
gadis mengucap salam. Tak ada jawaban. Gadis itu mengulanginya hingga 3 kali
salam ia ucapkan. Namun tetap tak ada jawaban. Si pria yang bersamanya,
mengintip ke dalam melalui sebuah jendela kecil yang sedikit terbuka di samping
pintu. Di dapatinya seseorang yang tengah bersujud. Dia memperhatikan, dan
merasa ada yang janggal. Karena seseorang itu tidak kunjung bangun dari
sujudnya, terpaksa dia membuka pintu yang tak dikunci itu. Mendekat dan
menyentuh tubuh seseorang itu. Namun, tubuh itu tergeletak lemas tak berdaya,
tanpa nafas, tanpa denyut nadi, tapi dengan senyum di wajahnya.
Selesai
COMMENTS