Oleh Oki Dwi Rahmanto
Gerimis di pagi itu mengiringi langkah kami menuju rumah salah
seorang guru ngaji di pesantren. Rumah beliau tak jauh, jaraknya kurang lebih 2
km. Sekitar pukul sembilan kami telah tiba di rumah beliau. Setelah
berbasa-basi sebentar, kemudian kami mengutarakan maksud dan tujuan kami, akhirnya
beliaupun bersedia untuk bercerita mengenai secuil kisah perjalanan hidup
beliau agar dapat diambil hikmahnya.
Terlebih bagi teman-teman santri yang sedang menuntut ilmu di pesantren saat
ini.
Siapa
santri el-qi yang tak mengenal beliau. Semua yang pernah menimba ilmu di Pondok
Pesantren Al Luqmaniyyah sudah tentu mengenalnya. Beliau merupakan sosok guru
al Qur’an di Pondok Pesantren Al Luqmaniyyah. Selain itu, Beliau juga satu-satunya
ustadz yang mengampu pelajaran Al Qur’an dan tajwid di PPLQ. Nama lengkapnya
yaitu Ahmad Faizin dilahirkan di Desa Weding, sebuah daerah yang berada di
sekitar kota Wali, Demak.
Hampir
separuh usianya digunakan untuk belajar dan mengabdikan dirinya untuk Al-Qur’an.
Semenjak kecil beliau sudah mengenal al-Qur’an dan mempelajarinya. Setiap
pulang sekolah beliau selalu membantu orang tuanya hingga sore hari, kemudian dilanjutkan
pergi ke masjid untuk mengaji. Begitulah rutinitas tiap harinya. Hingga setelah
tamat SD, beliau masuk pondok pesantren yang tak jauh dari rumah. Tepatnya di
Pondok Pesantren Al Amanah Weding, Demak.
Kurang
lebih selama 12 tahun beliau menuntut ilmu di pesantren tersebut. Selama
nyantri, beliau tak hanya mengaji saja,
melainkan khidmah (membantu) kyai dan keluarganya. Semua pekerjaan dapur, sawah,
dan rumah beliau kerjakan. Bahkan karena saking banyaknya, waktu untuk mempelajari
keilmuan lain seperti kitab kuning menjadi terbatas, sehingga beliau harus
pandai dalam membagi waktu luangnya. Saat itu, beliau juga mengakui akan sulitnya
mempelajari dan memahami kitab kuning. “Aku biyen yo ngaji kitab, tapi yo
kok ora paham-paham ngono lho...”, aku beliau kepada IQRO’.
Guru
beliau bernama Kyai Mastur. Itulah guru pertamanya ketika nyantri. Saat di pondok
pesantren, beliau selalu menghabiskan waktunya untuk berhidmat terhadap pondok.
Disisi lain, beliau juga berusaha untuk memahami pelajaran kitab dan Al-Qur’an.
Kyai beliau sangatlah disiplin dan keras dalam mendidik para santrinya.
Terutama ketika setoran Al-Qur’an. Jika bacaannya kurang pas sedikit saja,
santri pun mendapat hadiah berupa jeweran.
Meskipun
saat itu beliau tidak mengahafalkan, tetapi beliau telah menghatamkan setoran
Bin Nadzri dengan kyainya. Selama kurang
lebih 12 tahun nyantri, 5 tahun lebih beliau habiskan waktunya untuk fokus menekuni
Al-Qur’an. Beliau mengatakan, bahwa sistem belajar di pondok saat ini sangat jauh
berbeda dengan zaman sekarang. Jika dulu ketika ngaji salah sedikit saja
langsung dicubit atau dipukul, tetapi sekarang cenderung lebih ringan. “Nek setoran telung ayat ora
dicethoti, kui wis alhamdulillah.... (kalau setoran tiga ayat saja tidak
dicubit itu sudah alhamdulillah...)”, kata beliau, mengenang kisahnya saat
itu.
Meskipun
tidak menghafal, namun ada satu sisi kelebihan yang dimiliki beliau. Ketika
mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari santri yang masih salah atau kurang pas, beliau langsung merasa ada sesuatu
yang mengganjal, dan secara spontan beliau langsung membenarkan bacaan
tersebut. Mungkin kelebihan ini didapatkan dari khidmat beliau terhadap pondok
pesantren dan perjuangannya dalam menimba ilmu secara sungguh-sungguh, kemudian
ditopang dari kedisiplinan Kyai dalam mengajarkan al Qur’an secara ketat dan
displin waktu itu.
Setelah
mondok di Demak, takdir Allah kemudian membawanya ke Yogyakarta (Kota Seribu
Kenangan). Saat itu usianya menginjak 24 tahun. Tepatnya pada tahun 1994, beliau
mengabdikan dirinya di Pondok Pesantren As Sholehah Mlangi, Nogotirto, Sleman.
Selama 4 tahun lebih, beliau habiskan waktunya untuk mengajarkan ilmu
Al-Qur’an, hingga akhirnya sampailah beliau diajak untuk mengajar di Pondok Pesantren
Al Luqmaniyyah. Sekitar tahun 1999, beliau diberi amanah oleh Abah Kyai Najib
Salimi untuk ikut bersama-sama berjuang di Pondok Pesantren Al Luqmaniyyah.
Bertepatan pada tahun tersebut pula, beliau memulai kehidupan rumah tangganya
dan tinggal di Kelurahan Muja-muju tak jauh dari PPLQ, hingga saat ini.
Perjalanan
mengajar Al-Qur’an di PPLQ tak semudah dan semulus yang dikira. Latar belakang
santri yang berbeda-bedalah yang membuat sedikit berpikir bagaimana metode mengajarnya. Bahkan, ada seorang santri yang
sama sekali dari awal belum pernah belajar Al-Qur’an. Sehingga dari itu, perlu menelisik
sejauh mana kualitas para santri dalam memahami bacaan Al-Qur’annya. Keseharian beliau selain mengajar
di pondok, beliau juga menerima setoran Bin Nadzri di rumahnya pada pagi hari.
Selain para santri PPLQ, ada pula santri kalong yang ikut mengaji
disana. Dari awal beliau juga menerima santri-santri kos untuk mengaji di
rumahnya. Mulai tahun 2003 hingga sekarang, bahkan, santrinya berasal dari
berbagai daerah yang sedang kuliah di perguruan tinggi di Jogja.
Meski
tidak hafal Al-Qur’an beliau memiliki prinsip bisa menjaga bacaan sesuai dengan
kaidah, baik itu makhorijul huruf, sifatul huruf dan lainnya. Beliau
pun mempunyai alasan mengapa beliau tidak menghafal al Qur’an, hal ini didasari
dari restu guru yang tidak membolehkan untuk menghafal pada waktu itu. Selain
itu , beliau juga pernah sowan kepada Kyai Najib Abdul Qodir Pengasuh Ponpes Krapyak
dan bertanya mengenai dirinya yang tidak hafal Al Qur’an tetapi menerima
setoran Al-Qur’an. Simbah Kyai Najib pun menjawab dan membolehkan untuk
menerima hafalan al Qur’an. Bahkan pernah ada cerita seorang pengasuh pondok
Al-Qur’an yang meminta beliau untuk menyimak bacaannya. Meski saat itu pada
awalnya beliau menolak, namun akhirnya menerima juga. Dan ternyata masih ada
bacaan yang masih keliru. “Meski sudah hafal, belum tentu bacaannya benar,
karena bisa jadi ada Al-Qur’an yang salah ketik”, beliau menjelaskan.
Selain
mengajarkan Al-Qur-an dirumahnya, beliau juga terkadang kedatangan tamu dengan
berbagai macam masalah. Pada awalnya beliau tidak menyangka akan menerima
tamu-tamu seperti itu. Namun dengan modal yakin, karena pada dasarnya semua
masalah datangnya dari Allah, Maka Allah pulalah yang memberikan jalan keluar.
Pernah
pada suatu ketika beliau kedatangan tamu yang mengeluhkan bahwa ia tidak bisa
tidur dalam beberapa hari. Kemudian beliau teringat do’a yang pernah diajarkan
Kyainya saat itu. Dengan membacakan salah satu ayat dalam Surat An-Nuur dan
diusapkan ke matanya, sore harinya tamu tersebut sudah bisa tidur dengan
nyenyak kembali. Beliau saat itu memang heran, apakah semua ini merupakan
bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an.
Semua berangkat
dari keyakinan. Meskipun sudah diamalkan tetapi tidak yakin, tentu saja tidak
akan hasil atau manfaat. Seperti yang terdapat dalam penggalan Nadhom Imrity, Kullu
man lam ya’taqid lam yantafi’. Beliau juga berpegang pada suatu maqolah, “Orang
yang alim kuncinya adalah yang pintar dalam mengqiyaskan masalah”. “Opo wae
ilmu sing tak nduweni yo tak cakke wae... (Apapun yang ilmu yang saya dapat,
saya gunakan saja...)”, tuturnya.
Begitulah
kurang lebih kisah dari sosok pelayan Al-Qur’an di PPLQ. Hikmah yang dapat
diambil dari penggalan kisah beliau agar selalu yakin terhadap guru dan
Al-Qur-an. Satu lagi, beliau dalam merangkul masyarakat sekitar tidak perlu
membawa-bawa bendera ormas tertentu. “Sopo wae sing penting Islam, sing
penting masuk dulu, masalah agama yang belum paham apa? Angger dijalani wae
dengan yakin,” pungkasnya.
COMMENTS