By : Farisya
Gubbbrakkk !!!! sebuah suara misterius terdengar jelas dari
dalam kamar santri sebuah pesantren salaf. Suara itu mengejutkan beberapa
santri yang tengah asyik bercengkrama di depan kamar itu. Rangga, salah seorang
dari santri yang tadi sedang asyik bercengkrama memberanikan diri menghampiri
sumber suara. Dia buka pintu kamar itu,
dan melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Santri-santri yang tadi bercengkrama
bersama Rangga menatapkan bola mata mereka ke arah Rangga. Jarum jam terus
bergerak bersamaan dengan Ayunan detak jantung
para santri yang dihantui rasa khawatir. Gubbbrakk !!! suara misterius
kembali datang menghampiri daun telinga santri-santri yang masih menatapkan
bola mata mereka ke arah pintu kamar yang terbuka. Detak jantung mereka semakin
kencang tak beraturan.”Owalah kang Farel !!!”, Terdengar jelas suara rangga
dari dalam kamar. Tanpa menunggu komando para santri yang sejak tadi diselimuti rasa penasaran
bercampur dengan khawatir saling berebut masuk ke dalam kamar. Sesampainya di
dalam kamar mereka menemukan Rangga dan kang Farel tengah mengangkat sebuah
kardus besar.
“Rangga,
ada apa sebenarnya ? kami tadi mendengar suara misterius lagi”, kata salah
seorang santri.
“Tenang
Bro, gak usah panik begitu. Suara yang tadi kalian dengar itu ternyata suara
kardus jatuh”, jawab Rangga sambil tersenyum.
“Suara
kardus jatuh ???”, tanya para santri kompak.
“Yang
dikatakan Rangga itu benar, tadi beberapa kardus yang ada diatas lemari jatuh”,
jawab kang Farel memotong pembicaraan.
“Kok
bisa jatuh kang? perasaan ga ada gempa?”, kata seorang santri.
“Iya...
soalnya tadi saya mau mengambil kardus saya yang ada disebelah kardus yang
jatuh”, jawab kang Farel sambil tersenyum.
“
Mau dibawa kemana kang ?”, tanya Rangga penasaran.
“Begini
Rangga dan juga teman-teman semua, berhubung saya sudah menyelesaikan program
dari departemen pendidikan pesantren, dan saya sudah diperbolehkan untuk
kembali ke lingkungan masyarakat, maka saya mohon pamit kepada kalian semua
sekaligus mohon maaf jika banyak kesalahan yang saya lakukan selama bersama
kalian”, jawab kang Farel.
“Oh
kang Farel mau mukim dari pesantren ya? kalau begitu kami juga meminta maaf ya
kang bilamana kami selaku jeniornya kang Farel sering berbuat kesalahan dan
kesalahan kang Farel insyaallah kami sudah memaafkan”, Respon Rangga dengan
muka lesu.
“Terima
kasih Rangga dan semua nya, Insyaallah saya pulang meninggalkan pesantren besok
pagi.
***
Pagi
datang menyapa dunia dan seisinya, daun-daun hijau menari lemah gemulai dengan
hiasan butiran-butiran embun pagi, sang mentari masih terlihat malu-malu untuk
memancarkan sinarnya. Farel sudah sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan
menemaninya menempuh perjalanan ke sebuah tempat dimana dia dilahirkan dan
dibesarkan. Berbarengan dengan naiknya sang mentari, kedua orang tua Farel
datang menjemput sang buah hati yang sudah mereka harapkan keberhasilannya. Setelah
berpamitan pada pengasuh, pengurus, dan seluruh santri putra Farel menuju ke
halaman pesantren. Sebuah mobil camry berwarna abu-abu sudah siap membawa Farel
menuju tempat tinggalnya.Beriringan dengan bunyi klakson yang mengisyaratkan
permohonan pamit, roda mobil sedikit demi sedikit mulai menjauh meninggalkan
halaman komplek putra pondok pesantren salaf.
Farel masih menatapkan pandangannya ke arah teman-teman yang berkumpul
di halaman komplek. Semakin lama pandangan itu semakin buram dan kemudian pergi
menghilang. Kini Farel hanya melihat pohon-pohon yang melambaikan rantingnya,
seakan memberi isyarat ucapan selamat jalan kepada Farel. Mobil camry abu-abu
yang ditumpangi Farel melaju dengan gagahnya menelusuri deretan aspal. Dalam
perjalanan Farel diselubungi rasa penasaran bagaimana kondisi daerah
kelahirannya setelah 5 tahun dia tinggalkan. Camry abu-abu yang Farel tumpangi
terus melaju menerjang teriknya panas matahari. Tepat ketika matahari telah menempuh 2/3 perjalanan, camry
abu-abu tiba di rumah Farel. Tempat dimana Farel dilahirkan dan dibesarkan.
Pintu mobil sebelah kanan langsung Farel buka, dan ia langsung memberikan salam
kepada yang ada di rumah.
“Assalamu’alaikum
?!!!”, sahut Farel dengan penuh semangat.
“Wa’alaikum
salam”, jawab nenek Farel dan kakak perempuan Farel.
“Nenek,
Kakak... Farel pulang”, sahut Farel sambil berlari menuju ke arah nenek dan kakaknya.
“Wah
kamu tambah ganteng ajha rel”, kata kakak Farel sambil menyalaminya.
“Ah
kakak ini, bikin aku geer saja”, jawab Farel malu-malu.
“
Ya sudah sana taruh barang-barangmu kemudian mandi terus makan”, kata nenek
Farel yang melihat kelelahan pada wajah cucu laki-lakinya.
“Baik
Nek....”, jawab Farel.
Selesai makan
dan membereskan barang-barang bawaaannya, Farel menceritakan berbagai kisah
yang dia alami selama menuntut ilmu di pesantren kepada anggota keluarganya. Farel
menghabiskan malam pertamanya dirumah semenjak pulang dari pesantren dengan
mengarungi alam mimpi.
***
Cahaya
fajar perlahan mulai mekar, Ayam jago mulai berkokok dengan gagahnya. Suara
adzan menggema merdu bersamaan dengan tiupan angin fajar yang menyegarkan. Farel terbangun dari asyiknya alam mimpi. Dia
arahkan tubuhnya meninggalkan ranjang bermuatan busa yang empuk menuju ke arah
kamar mandi yang letaknya tidak jauh. Keluar dari kamar mandi dia bersiap diri
untuk melangkahkan kakinya ke masjid Ar-Razi. Sebuah masjid besar yang letaknya
sekitar 500 meter dari rumahnya. Sesampainya di halaman masjid ternyata sudah
banyak jamaah yang datang. Farel dan ayahnya bergegas segera masuk ke dalam
masjid. Iqomatpun dikumandangkan oleh sang muadzin pertanda sholat akan segera
dimulai. Imam membaca takbiratul ihrom yang diikuti oleh semua jamaah. Suasana
masjid menjadi hening, tenang, dan khidmat. Seluruh jamaah hanyut dalam gerakan
dan bacaan sholat. Selesai melaksanakan sholat Farel langsung melangkahkan kaki
menuju rumah. Sesampainya di rumah Farel dipanggil ayahnya yang sedang duduk di
ruang tengah.
“Farel
kesini sebentar nak...”, panggil ayah Farel.
“ Baik
Yah....”, jawab Farel
“Farel,
kamu anak laki-laki pertama ayah, kamu juga seorang santri dan juga seorang
sarjana. Ayah yakin kamu mampu memenuhi permintaan ayah”, kata ayah Farel.
“Memang
ayah mau minta apa dari Farel ?”, jawab Farel sedikit penasaran.
“Nak...
pertama coba kamu baca beberapa kalimat pada kitab ini”, pinta ayah Farel.
“Baik
Ayah...” jawab Farel.
“Qaala
Ali bin Abi Thalhah, ‘an ibnu ‘abbasin raghabahumullahu fi attazwizi, wa amara
bihi al ikhrara wal ngabiida, wara’adahum ‘alaihi alghinaa, faqaala : iyyakunuu
fuqaraa-a yughnihimullahu min fadhlihi”
“Maksudnya
apa itu nak ?”, tanya ayah Farel.
“Maksudnya
itu, Diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalhah, dari ibnu abbas, “Allah
menjadikan suka kepada mereka dalam menikah dan memerintahkannya kepada seorang
yang merdeka dan juga budak serta menjanjikan kekayaan kepadanya maka Allah
berfirman “jika mereka miskin maka Allah akan menjadikannya kaya dari
karunianya”, jawab Farel.
“Kamu
tentunya sudah maksud nak apa yang menjadi permintaan ayah padamu. Beberapa
hari sebelum kamu pulang ada teman ayah yang mengajak besanan dengan ayah, dan
hanya ayah jawab insyaallah jika putraku setuju. Kasus seperti itu bukan yang
pertama kali Nak.., 3 bulan sebelumnya ketika ayah mengikuti pengajian akbar di
masjid agung Al-Bidayah, K.H Luqman Hakim seorang imam masjid agung Al-Bidayah,
menanyakan terkait studimu pada ayah, Beliau memberi tawaran kepada ayah untuk
menjodohkan kamu dengan putrinya. Belum cukup sampai disini Nak..., 2 bulan
sebelum tawaran dari Kyai Luqman datang, ketua yayasan Mafatihul Anwar K.H
Mansyur Anwar juga menanyakan perihal pendidikan dirimu, Beliau juga berkenan
menjadikan kamu untuk jadi imam dari putri tunggalnya. Jujur nak..., ayah tidak
sanggup menolak tawaran ketiganya, jadi ayah meminta kamu yang memilihnya
sendiri”, pinta ayah Farel.
“Jika
itu permintaan ayah, Farel hanya bisa samikna wa athokna. Apa ayah tidak
keberatan jika Farel menggunakan metode Farel sendiri untuk menentukan pilihan
?”, tanya Farel.
“Kamu
itu berpendidikan Nak, ayah sepenuhnya percaya pada kamu, toh juga kamu yang
akan menjalani”, jawab ayah Farel mantap.
“Baiklah
yah, besok kita kunjungi kediaman beliau-beliau yang memberi tawaran kepada
ayah”, jawab Farel.
“
Kalau itu keinginan kamu, besok ayah akan ajak kamu silaturrahim ke rumah
beliau-beliau yang berminat menjadikan kamu sebagai menantu”, kata ayah Farel.
***
Detik demi detik
berlalu begitu cepat, tak terasa sang mentari telah meninggalkan permukaan bumi
yang menandakan siang telah digantikan oleh malam. Farel telah menentukan sebuah
metode yang akan dia gunakan untuk menentukan pilihannya.
Bersamaan
dengan cahaya fajar yang mulai mekar, Farel dan ayahnya berangkat untuk
bersilaturrahim dengan mengendarai mobil camry abu-abu. Tujuan pertama adalah
kediaman K.H Mansyur Anwar. Setelah dua jam mengarungi aspal, sampailah di
depan halaman sebuah rumah bercat hijau dan berada pada lingkungan gedung
sekolah.
“Assalamu’alaikum...”,
ucap ayah Farel sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam...”,
jawab salah seorang yang berada didalam rumah.
Tidak lama
kemudian pintupun dibuka, tampak seorang laki-laki berusia separuh baya keluar
dari dalam rumah. Tanpa mengucapkan suatu kata apapun laki-laki itu langsung
bersalaman dan merangkul Ayah Farel.
“Pak
Rendra....!”, kata laki-laki yang keluar dari dalam rumah sambil merangkul ayah
Farel.
“Bagaimana
kabarnya pak kyai ?”, jawab ayah Farel sambil membalas rangkulan laki-laki
tadi.
“Alhamdulillah
baik pak Rendra”, jawab laki-laki tadi.
“Ini
nak Farel ???’, tanya laki-laki tadi.
“Iya
benak pak kyai”, jawab ayah Farel sambil memberikan isyarat kepada Farel untuk
menyalami laki-laki yang berdiri di depan Farel.
“Ayo
silahkan masuk”, pinta laki-laki pemilik yang tidak lain adalah Kyai Mansyur.
“Baik
pak kyai”, jawab Ayah Farel.
“Santi....
buatkan minum untuk tamu nak...”, perintah pak kyai pada seseorang yang berada
di ruang tengah.
Pak kyai Mansyur
mempersilahkan Farel dan Ayahnya duduk. Ayah Farel dan kyai Mansyur asyik dalam
sebuah obrolan bagaikan seorang teman yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.
Ditengah keasyikan obrolan ayah Farel dan Kyai Mansyur, seorang wanita berkerudung biru keluar dari
ruang tengah dengan membawa nampan berisi minuman. Wanita itu begitu anggun dan
manis.
“Silahkan
diminum....”, kata wanita tadi sambil menaruh gelas di meja.
“Nduk...
jemput umimu, suruh dia kedepan”, pinta kyai Masyur.
“Enggih
Abah”, Jawab wanita itu.
Wanita tadi
langsung kembali ke belakang. Pak kyai Mansyur mempersilahkan Farel dan Ayahnya
untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Tak berselang lama, seorang ibu
dan wanita yang tadi keluar dari ruang tengah dan duduk di samping pak kyai
Mansyur. Ayah langsung mengutarakan maksud dan tujuan bersilaturrahim.
“Pak
Mansyur se-keluarga yang saya hormati, saya dan anak saya datang kesini pertama tentunya tidak lain karena ingin
menjalin silaturrahim dengan keluarga bapak. Kedua kalinya, saya ingin
membicarakan kelanjutan dari tawaran pak Mansyur yang beberapa waktu lalu
ditawarkan kepada saya ? pastinya pak Mansyur sendiri sudah memahaminya bukan
?”, ucap ayah Farel membuka pembicaraan.
“Pertama
saya ucapkan terima kasih atas silaturrahminya, untuk pembahasan terkait
tawaran saya, pada intinya kami hanya menunggu persetujuan dari pihak keluarga
pak Rendra yang mana itu terkait persetujuan dari mas Farel, untuk itu kami
persilahkan mas Farel untuk menyampaikan pendapatnya”, jawab kyai Mansyur
menanggapi pembicaraan dari ayah Farel.
“Jika
seperti itu, saya langsung saya serahkan kepada putra saya langsung”, jawab
ayah Farel.
Dengan perasaan
campur aduk antara senang, malu, dan gerogi, Farel menarik nafas dalam-dalam
dan kemudian menjawab pernyataan dari kyai Mansyur,
“
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan pak kyai, keputusan saya sejatinya
berasal dari putri bapak sendiri, saya hanya akan memberikan satu pertanyaan
kepada putri bapak, dan jawaban putri bapak nanti yang akan saya lihat, sebelum
saya memberi keputusan”, jawab farel dengan nada agak gugup.
“Baik
Nak Farel, silahkan ajukan pertanyaan itu dan insyaallah akan dijawab langsung
oleh putri saya santi”, jawab kyai Mansyur.
“Baik
pak kyai, saya ingin bertanya pada putri pak kyai, siapakah manusia yang paling
dicintai di muka bumi ini ?”, tanya Farel kepada putri kyai Mansyur.
“Jawaban
saya tentu ibu saya”, jawab putri kyai.
“Ayah
dan pak kyai, jawaban yang diberikan oleh putri pak kyai sudah benar, tidak
sama sekali salah, akan tetapi masih kurang tepat bagi saya. Tentunya pak kyai
sudah mengetahui apa keputusan saya”, jawab Farel.
“Baiklah
kami hargai keputusan nak Farel, dan terima kasih atas tanggapannya pak Rendra.
“Geh
sami-sami pak kyai. Putri pak kyai pantas mendapat laki-laki yang lebih baik
dari saya”, jawab Farel.
“Kalau
begitu terima kasih atas sambutan dari keluarga pak Mansyur, saya harap pak
Mansyur tidak kapok menerima kehadiran kami dilain waktu”, ucap pak Rendra.
Farel dan
ayahnya Berpamitan pada keluarga pak Mansyur, dan melanjutkan perjalanan ke dua
tempat tersisa. Dari kedua tempat itu, Di kediaman K.H Luqman Hakimlah Farel
mendapatkan jawaban yang sesuai dengan yang dia harapkan. Jawaban itu adalah
jawaban dari putri tunggal K.H Luqman Hakim yang memberi jawaban orang yang
paling dia cintai adalah Rasulullah SAW, karena dia adalah panutan bagi semua
umat muslim. Jika kita mencintai Beliau berarti kita mau mengikuti segala
sunnahnya. Selain itu juga kita berkesempatan menjadi umat terpilih yang bisa
mendapat syafaat beliau.
Ahirnya
kedua keluarga sepakat untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan tiga bulan
kemudian Farel menikah dengan putri tunggal kyai Luqman Hakim yang bernama
Nisfa Ar Rahmah. Dari pernikahan mereka dikaruniai seorang putra yang senang
menjalankan sunnah rasul dan bahagia jika membacakan lantunan syair-syair
sholawat. Inilah yang dicita-citakan Farel. Seorang pangeran sholawat yang
menjaga sunnah-sunnah Rasulullah SAW.
COMMENTS