(Sebuah
Refleksi Upacara Sekaten
Dalam Rangka Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW)
Dalam Rangka Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW)
Oleh : Waladul Jibal
Maulid Nabi
atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah hari yang paling
ditunggu-tunggu oleh Umat Muslim,
khususnya para santri. Mereka menunggu momen setahun sekali ini dengan penuh
kerinduan dan kecintaan terhadap Nabi. Sehingga ketika momen itu datang, tak
sedikit dari umat muslim menyambutnya dengan berbagai acara. Mulai dari yang
sederhana hingga acara yang meriah. Hal ini tentunya menjadi bukti betapa rindu
dan cintanya mereka terhadap Nabi Muhammad SAW.
Salah satu
acara yang meriah dalam rangka menyambut momen tahunan ini adalah acara
sekaten. Sekaten ini identik dengan perayaan Maulid Nabi, terutama di Kota Yogyakarta.
Maulid Nabi dan Sekaten menjadi dua hal yang sangat sulit dipisahkan seperti
halnya dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Pada mulanya, Upacara
Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Upacara
Sekaten muncul pada awal mula penyebaran Agama Islam di Jawa. Upacara ini
muncul dengan diprakarsai oleh salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga.
Beliau menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat
luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya. Adapun alat yang
digunakan adalah dua perangkat Gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Kegiatan ini
terbukti memikat banyak orang, sehingga Kanjeng Sunan kalijaga memanfaatkaanya sebagai
misi dakwah. Beliau memberikan syarat kepada semua pengunjung yang hendak masuk area pagelaran karawitan untuk membaca
dua kalimah syahadat yang dalam bahasa arab disebut syahadatain. Pada
perkembangan selanjutnya, dilakukan khutbah dan pembacaan ayat-ayat suci
Al-Qur'an di sela-sela pagelaran.
Berawal dari
syahadatain ini, nama sekaten itu lahir karena lidah orang Jawa yang kurang
fasih dalam melafadzkan. Di dalamnya tersirat makna yang sangat dalam yaitu
pengakuan diri atas ke-Esaan Allah SWT (Syahadat Tauhid) dan pengakuan diri
atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (syahadat Rasul).
Sekaten merupakan hasil asimilasi budaya yang dilakukan oleh para wali dan
sesepuh Islam pada zaman dahulu. Mereka paham, bahwa Indonesia, khususnya Jawa
memiliki budaya yang sangat kental dan hampir sangat sulit untuk dipisahkan
dengan masyarakatnya. Sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah agama “Rahmatn
Lil ‘Alamin” maka para wali pun memilih jalan asimilasi budaya dalam
penyebaran agama Islam.
Dilihat dari sejarahnya,
upacara sekaten dahulu sangat kental dengan nuansa Islam. Akan tetapi, hal itu
sudah sangat sulit ditemukan lagi pada perayaan sekaten sekarang ini. Bahkan
Menurut Hidayat, seorang penulis muda dalam artikelnya mengatakan, “Nilai
religi yang terkandung di dalamnya seakan terkikis oleh dahsyatnya roda ekonomi
yang kian berputar. Ironisnya banyak masyarakat yang justru tidak mengetahui
makna dari perayaan sekaten itu sendiri. Banyak dari mereka yang hanya
mengetahui sekaten karena pasar malamnya saja.”
Tak banyak
dari masyarakat, baik itu warga asli Jogja sendiri ataupun pendatang yang mengetahui
makna sebenarnya dari perayaan sekaten, atau mereka sebenarnya mengetahui akan
hal itu, namun tidak menghayati maknanya dengan sepenuh hati. Oleh sebab itu,
banyak pemuda hanya mengartikan sekaten dengan gemerlapnya pasar malam yang
diadakan selama satu bulan, yang sejatinya hanya bersifat memeriahkan dari acara
inti, yaitu Upacara Grebeg Sekaten. Parahnya lagi, tidak sedikit yang
memanfaatkan pasar malam tersebut untuk
melakukan hal-hal yang dilarang agama Islam seperti berjudi, mencuri, dan
bermesraan dengan wanita yang tidak halal baginya. Tentu sangat disayangkan,
sebuah tradisi yang dirintis oleh walisongo untuk memikat ketertarikan
masyarakat akan Islam malah begeser menjadi sebuah acara yang memamerkan
kemaksiatan.
Fakta lain
yang menarik adalah pedagang dan permainan serta hal-hal lain yang ada di Pasar
Malam Sekaten jauh lebih banyak menarik hati masyarakat dibandingkan dengan
pertunjukan pagelaran budaya yang ditampilkan. Melihat fenomena tersebut, tim peneliti mahasiswa dari salah satu universitas di Yogyakarta pernah mengemukakan sebuah pernyataan
yang cukup penting terkait budaya lokal. Menurut mereka, perubahan kebudayaan
atau pengikisan nilai-nilai kebudayaan tidak lagi dapat dipungkiri seiring
dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Keberadaan budaya tentu menjadi
tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. Budaya lokal yang semakin
ditinggalkan karena adanya gempuran budaya baru, perlu dikemas semenarik mungkin.
Mengemas dan menampilkan semenarik mungkin budaya ke masyarakat dengan berbagai
penyesuaian perubahan zaman itu masih dirasa wajar, dengan catatan tidak
menghilangkan esensi, makna dan nilai dari budaya itu sendiri.
Oleh karena
itu, melalui perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, mari sejenak kita
renungkan. Sudah sampai mana kita mampu membuktikan pengakuan kita cinta
terhadap Nabi? Sudah sampai mana kita meneladani beliau? Sudah sampai mana kita
meniru akhlaknya? Sudah sampai mana kita amalkan ajaranya?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya diri kita sajalah yang mampu menjawabnya.
Wahai
saudaraku, semarak Maulid Nabi Muhammad SAW harus tetap ada dengan berbagai
kondisi dan kemampuan yang kita miliki. Sekaten sebagai warisan asimilasi
budaya juga harus tetap kita jaga nilai-nilai keislamannya. Jangan hanya karena
kemajuan teknologi dan zaman membuat kita buta akan sejarah dan esensi dari sekaten
itu sendiri. Mengunjungi Pasar Malam dan bermain di sana pun tidak menjadi hal
yang salah. Akan tetapi di sisi lain, norma dan etika kita sebagai orang
Indonesia yang sekaligus meyakini risalah kenabian Nabi Muhammad tetaplah harus
dijaga dengan baik. Jangan sampai kita lalai dan diperbudak oleh hawa nafsu. Sehingga
kita benar-benar bisa menjadi pilar penerus perjuangan para alim ulama serta
para wali yang telah wafat. Wallohu ’alam bi Showwab.
COMMENTS