Oleh : Fatih Asy Syafi'*
Gemercik
riak hujan pagi itu menambah gundah hati laki-laki yang sedang merenungi
kepergian seorang yang sangat ia sayangi melebihi dirinya sendiri. Duduk diam persis di depan
jendela kamar yang berhiaskan kordin biru, menggelayut pelan terkena terpaan
angin seperti sedang menari. Pandangannya lurus menembus rintik air yang jatuh
tak beraturan, pancaran matanya kosong seperti seorang buta. Gundah dan kesal
bertubi-tubi menghujam bak ribuan silet yang menyayat kulit, perih dan menyiksa. Ia ingin berteriak
sekuatnya sampai tubuhnya bergetar dan hancur berkeping, tapi tak sepatah
katapun yang keluar, lidahnya kelu mirip seperti baru tersiram air panas.
Sejenak ia berdiri menerawang sekeliling
ruang yang berukuran lima kali tujuh meter itu, pandangannya berhenti pada
sebuah foto yang berbingkai kayu, dengan hiasan kayu yang membentuk
lilitan-litan seperti sulur akar pohon tua. Diambilnya foto itu, sorot matanya
yang sendu mengamati foto seorang bocah yang tersenyum riang dalam dekapan perempuan. Laki-laki itu
memandang lekat-lekat sosok perempuan berbaju putih tak berlengan yang berhias
bunga warna orange seperti sinar senja. Wajah yang anggun dengan senyum tipis,
sebuah lesung pipi yang terlihat samar seperti lesung yang dimiliki laki-laki
tersebut.
“Ibu…,” bisiknya lirih.
Sebuah air mata menitik lirih dari sela-sela matanya,
mengalir turun dan jatuh tepat di atas kaca yang melapisi foto tersebut. Bibirnya menyimpupulkan kesedihan yang
kemudian disusul dengan getaran pada sekujur tubuh. Tubuhnya lunglai seperti
seonggok daging tanpa tulang, didekapnya foto itu erat-erat seperti seorang
anak kecil yang takut mainannya direbut oleh temannya. Terbesit
dalam ingatannya seorang bocah yang sedang berlarian memutari taman kecil di belakang rumah dengan
mengenakan kaos merah sambil mengayunkan mainannya di udara. Berbagai bunga
tumbuh mengitari pondokan di tengah
taman, seorang perempuan duduk mengamati
anak tersebut, segaris senyum yang dihiasi lesung tersungging indah dari
wajahnya. Taklama perempuan itu menghampiri sang anak dan mendekapnya lembut,
dipeluknya ia dalam kehangatan kasih seorang ibu.
“Dion…lihat sini…,” kata seorang yang
sedang berdiri sambil menggapit kamera.
Sambil tersenyum Dion menoleh ke hadapan laki-laki itu
bersamaan dengan perempuan yang mendekapnya. Dalam pancaran mata perempuan
tersebu, tersembul rasa cinta yang dalam ketika melihat laki-laki di hadapannya.
Sejenak
laki-laki tersebut melirik kepada perempuan dengan lirikan penuh kepercayaan.
Percikan cahaya kilat membuyarkan
bayangan dalam ingatan Dion.
Kini ia telah kembali dalam dirinya yang terkulai lemas di atas ubin yang dingin
masih dengan mendekap erat foto yang diambil dari tempatnya. Suara
ketukan terdengar dari belakang pintu yang disusul dengan suara seorang
perempuan.
“Dion…,” terdapat keraguan dalam suaranya
seperti takut melukai hati orang yang mendengarnya.
Dion
diam tak bergeming tak mengindahkan suara itu
“Dion… kamu nggak boleh kaya
gini terus, aku tahu kamu sedih tapi…,”suaranya
menjadi parau. “Kamu
jangan terus berlarut dalam kesedihan ….,”
masih banyak teman mu dan keluargamu yang sayang kamu Dion…”
Berharap mendapat tanggapan
perempuan tersebut diam menunggu, lama, tapi tak ada jawaban yang ia dengar,
hanya kesunyian yang ia dapati dari balik kamar. Sedetik kemudian ada rasa marah
yang menggelitik hatinya. Ia marah bukan
kepada orang yang ada di balik ruangan itu ataupun karena tak mendapat
tanggapan, ia marah kepada dirinya sendiri yang tak dapat membuat pria dibalik
pintu itu membagi bebannya dengan dirinya. Ia menjadi merasa tak berguna.
Setitik air mengalir dan jatuh mengenai tangannnya. Kini ia sadar bahwa dirinya
sedang menangis.
“Dion…..,”
suaranya bergetar disusul dengan sesunggukan. “Aku sayang kamu Dion…”
Masih
dalam diam, Dion teringat masa itu ketika ia sedang
duduk bercanda dengan teman-temannnya di sebuah taman, ia
mendapat telepon
dari nomor rumahnya. Dalam benaknya ia tak menduga akan terjadi hal yang buruk
yang akan menjadikannya seperti sekarang ini. Ia bergeser menjauh dari
teman-temannya dan mengangkat teleponnya
yang disusul dengan suara pembantunya yang bergetar dan parau.
“Den…”
“Iya
bi…ada apa? Nggak biasanya nelpon
saya..”
“Iya
den…”masih dengan suara
parau. “Nyonya den…”
“Iya…ibu
kenapa bi…,” kata Dion dengan nada cemas.
“Nyonya
di rumah sakit den…tadi pagi pingsan di kamar…”
Seketika tubuhnya merasa lemas,
seperti kehilangan daya topangnya. segala rasa bercampur aduk dalam benaknya,
“Ibu
dirumah sakit mana bi…,” tuturnya cemas..
“Di rumah sakit kota den …,” bibi menimpali.
Seketika itu ia menutup teleponnya dan bergegas
pergi.
Dari gerombolan teman-temannya
terlihat seorang perempuan yang sedari tadi mengamati Dion yang sedang
mengangkat telepon,
dilihatnya ekspresi Dion
yang cemas dan kemudian
pergi bergegas ke arah
parkiran. Melihat Dion
pergi. Perempuan tersebut
berdiri ingin menyusulnya.
“Kemana
na..?” Tanya seorang laki-laki tambun.
“Cari
toilet.” Timpalnya berbohong.
“Oh…jangan
lama-lama ya na..”
“Iya... duluan ya, udah kebelet banget
nih..”sahutnya sambil meringis.
Persis
di samping mobilnya, Dion
berhenti karena ada seorang yang memanggilnya.
“DION….” Teriak seorang perempuan
Seketika Dion menoleh mencari
sumber suara. Terlihat dari kejauhan perempuan yang berlari seperti anak kecil
main kejar-kejaran. Dengan nafas tersengal ia berhenti di depan Dion.
“Nana..,” ucap Dion lirih.
“Mau kemana kumu..?” Tanya Nana dengan masih
mencoba mengatur nafasnya yang tersengal
“Mau
pergi bentar,
ada urusan..”
“Emmm…
aku ikut ya…,”
Pintanya.
Tanpa memberikan jawaban, Dion langsung masuk ke dalam mobilnya, disusul dengan Nana yang masih berusaha
menstabilkan nafasnya. Dalam perjalanan mereka berdua tak
membicarakan apapun, menjadikan suasana dalam mobil terasa asing.
Sesampai dirumah sakit Dion langsung bergegas
menuju recepsionist dan bertanya kamar
ibunya. Setelah mendapat jawaban ia langsung menuju kamar yang ditunjukan
suster bersama dengan Nana
yang membuntutinya. Langkah Dion
berhenti di depan
kamar dengan angja 39. Ia melihat ke dalam kamar lewat jendela, dari kejauhan
terlihat seorang perempuan terbujur dengan selang oksigen yang menancap di sela-sela hidungnya.
Dengan ragu Dion masuk sambil masih
mengamati perempuan itu. Ibunya
tergeletak lemas di atas
tempat tidur dengan mata tertutup, raut wajahnya yang pucat pasi berbeda sekali
dengan raut muka ibunya yang selama ini ia kenal, raut muka yang ramah dan
selalu dihiasi dengan senyum yang berlesung.
“Ibu…,”isak Dion sambil memegang
tangan ibunya
Ia membenamkan wajahnya ke dalam tangan ibunya.
Dari belakang Dion, Nana
mengusap punggung Dion dan mencoba menenangkan
tanpa berucap sepatah katapun. Tiba-tiba Dion
merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya dengan lembut. Ia mendongakkan
kepalanya dan menemukan segaris senyum melintang di atas wajah ibunya yang
berbaring naas.
“Ibu
tidak apa-apa nak…”masih dengan senyum yang ia paksakan. “tidak usah khawatirkan ibu..”
Dion tak sanggup berkata sepatah
katapun, mulutnya seperti tersumpal oleh kesedihan yang ia rasakan ketika
melihat keadaan ibunya. Badannya semakin keras bergetar mendengar suara ibunya
yang lirih tak berdaya.
“Ibu
nggak akan ninggalin Dion
kan, seperti ayah..”
“Dion…ibu
nggak akan meninggalkan mu…”suaranya berhenti sejenak seperti mengingat sebuah
memori yang telah lama ada dalam benaknya. “Ayahmu…telah
meninggal dan ibu juga mungkin akan menyusulnya tidak lama lagi…,” lanjut ibunya dengan
berlinangan air mata. “Tapi
ibu dan ayahmu tidak pernah meninggalkn mu Dion… karena kami akan selalu
hidup dalam hatimu”.
Sejenak ibunya melirik ke arah perempuan yang
berdiri di belakang
Dion, ia melihat sorot
mata perempuan itu, mirip dengan sorot mata suaminya dulu ketika memandangnya. Tatapan
yang penuh kasih dan kepercayaan. Sejurus kemudian ia tersenyum penuh makna
kepada perempuan itu.
“Dion…kamu harus bahagia dan
melanjutkan kehidupan mu walaupun tanpa ibu dan ayahmu di sisimu… karena ada seseorang yang akan selalu menyayangimu
seperti ibu…”
Kata-kata terakhir yang diucapkan
ibunya terngiang jelas dalam benaknya. Berkali-kali
terucap dalam hatinya membuat ia berfikir bahwa ia harus tetap melanjutkan
hidupnya apapun yang terjadi padanya. Seketika itu ia berdiri seperti baru
mendapatkan suntikan energi.
Ia berjalan ke arah
pintu karena ia tahu telah ada orang di balik pintu itu yang setia menunggunya
dan menyayanginya. Dibukalah pintu kamarnya dan melihat seorang perempuan yang
berdiri sambil
menutup wajahnya dengan telapak tangan, dipeluknya perempuan itu, dalam dekapan
Dion, ia masih merasakan
getaran tangis dari perempuan itu, diusapnya rambut perempuan tersebut.
“Aku
sayang kamu Dion…aku
takut…aku..,” Suaranya terbata.
“Iya.
Na…aku tahu itu dan sangat yakin dengan itu…” kata Dion mantap seakan
kesedihan yang ia rasakan sudah sirna.
*) Cerpenis PPLQ
Santri Kelas Alfiyyah Tsani
COMMENTS